Monitor itu tertutup debu, sampai-sampai warnanya yang putih tak terlihat sama sekali, yang tampak hanya debu-debu yang memekat. Refleks tanganku menyentuh, dengan seketika pula menghitam jemariku.
Masih kuingat jelas awal mula hadirnya monitor 14 inch ini. Ia datang dalam keadaan yang tak baru lagi, ia bekas, meskipun seperti itu, aku tetap menganggap ini adalah hadiah terindah dari dia, yang mencintaiku dan juga begitu kucintai.
"Honey bisa pakai ini dulu, nanti abang belikan yang baru kalau sudah punya rejeki lebih" Lelaki bermata sipit itu memicingkan sebelah matanya padaku
Ia tahu aku begitu menyukai menulis. Dan monitor yang kumiliki sejak kuliah kemarin telah rusak karena korsleting. Ia pun menjadikan monitor bekas ini sebagai hadiah di hari bertambahnya angka usiaku, tapi lebih tepatnya kian berkurang jatah hidupku.
Kami memang hidup serba kekurangan, lantaran kami berdua ingin hidup mandiri tanpa bantuan dana dari pihak orang tua kami masing-masing. Naasnya saat kami pindahan ke rumah mungil ini, tas yang berisi ijazah kami berdua sedari SD sampai perguruan tinggi dicuri orang, dan sampai saat ini ijazah itu tak kunjung temu. Alhasil kami yang saat itu baru sebulan lulus kuliah tak dapat bergerak sama sekali. Abang pun memutuskan menjadi karyawan kios di minimarket haji ali.
"Terima kasih honey, ini masih sangat bagus kok, dinda akan pergunakan sebaik mungkin, abang cari uang ndak usah grasak-grusuk, yang penting halal bang untuk kita dan penerus kita ini" Aku memasang senyum termanis sembari mengelus perutku yang belum membuncit tapi telah berisi
Kenangan itu sama sekali tak pernah terpenggal dalam fikiranku. Kenangan yang selalu tertanam lekat-lekat dan tak akan pernah kubiarkan pergi sepatah katapun. Meski orang-orang terdekat selalu memaksaku untuk menguburnya dalam-dalam, tapi tetap saja tak bisa.
Terakhir, airin yang memintaku untuk membuang kenangan dan masa lalu jauh-jauh kemudian menjalani hidup lagi seperti sedia kala. Airin, jabang bayi yang belum berusia sebulan saat monitor ini datang.
***
"Bunda sedari kemarin menatap dan memengangi monitor itu terus dokter, entah apa yang ada dalam fikirnya, airin sedih melihat bunda terus seperti ini"
"Bagaimana kalau bundamu kita bawa ke rumah sakit saja, disana beliau akan mendapatkan pelayanan yang baik dan yang jelas tak akan melihat monitor ini lagi, sepertinya monitor ini hanya akan menambah beban fikirannya"
Airin terlihat mengangguk, ia tak pernah tahu, monitor ini adalah nyawa yang kumiliki saat dia bertumbuh dirahimku dan setahun sebelum ia diasuh mertuaku. "Aku tidak gila rin, aku hanya merindukan dia, merindukan dia yang juga sebagian darahmu, kalian takkan pernah bisa merebut kenangan indah itu, meski telah berlalu 20tahun, aku begitu menyadarinya ia masa lalu, tapi bisakah kalian mengerti aku sedikit saja".
Sumber gambar : google image
Tweet
0 VLP'ers comment:
Post a Comment
Kesopanan berkomentar cerminan dari kepribadian kita ! Silakan berkomentar sobat ^_*05