25
Desember 2009
Langit menangis dan bergemuruh
tiada henti, langkah-langkah kaki yang tak memakai alas itu pun perlahan
mendekati salah satu rumah megah di kawasan elite, tepatnya rumah yang salah satu
tembok pagarnya bertuliskan Prasetya – D10. Dan seolah tak ingin membuang
waktu, sesosok tangan gemetar menekan tombol merah di samping tulisan tersebut.
Tak lama berselang, lelaki tinggi besar berseragam putih hitam mendekat,
membukakan gerbang nan tinggi lagi megah itu.
“Tenang sayang, tidak lama lagi kita bisa bernaung di tempat yang layak”
lirih asmi sembari mengusap rambut aliya, adik bungsunya. Sejalan dengan
lirihan, pintu perlahan-lahan terbuka tanpa derit, wajah-wajah tak asing pun kini
bersitatap satu sama lain. Asmi mengulum senyum dengan sempurna saat petir
berkilat-kilat melaksanakan tugas, namun tanpa di sangka-sangka sepasang bola
mata diantara beberapa pasang yang menatap, juga turut berkilat-kilat, suaranya
bahkan mendahului gemuruh guntur yang bersahutan “Kami tidak akan pernah menampung anak-anak pembunuh, cepattt, pergi
dari sini,, pergiiiiii”
Sepersekian detik, asmi dan
adik-adiknya berhamburan seketika, meski wajah mereka semakin lama semakin pasi,
ketiga anak perempuan itu memastikan langkah mereka benar-benar keluar dari
kawasan rumah megah tersebut. Namun tanpa tersadar, langkah-langkah gemetar yang
diusahakan tergesa-gesa tersebut di susul oleh sebuah payung berukuran agak
besar, orang itu meraih aliya lalu menggendongnya, dan tanpa banyak kata asmi dan
ayu--adik keduanya, mengikuti langkah pemilik payung tersebut.
***
25
Desember 2010
Sepulang kerja, asmi kembali melakukan
pekerjaan keseharian. Ya, di rumah kontrakan tipe 36 dua kamar tersebut, ia
merapikan rumah, juga menyediakan makan malam, semua itu ia lakukan seusai sholat
maghrib dan tadarrusan. Meski lauk yang ada hanya beberapa potong tempe dan
tahu, meja makan itu rapi, bahkan tidak kalah dari meja yang bersiap untuk candle light dinner.
Setelah semua selesai, barulah asmi
melepas lelah di atas kasur pemberian orang yang telah dia anggap sebagai orang
tuanya setahun terakhir ini, walaupun tidak se-empuk kasur yang dulu, ia tetap sangat
menikmatinya. Namun tiba-tiba saja terdengar suara ringkih ayu “kak asmi, kak asmi, cepat kak”
Asmi segera bangkit, namun pintu
belum seutuhnya terbuka ayu dan aliya telah menubrukkan tubuhnya dalam
rangkulan asmi “ada apa sayang ?”
Belum ada jawaban yang terkuak, mereka
bertiga tiba-tiba membisu, menelan ludah, kini di hadapan mereka telah berdiri
sosok yang sudah seminggu terakhir datang mengunjungi mereka, namun kali ini berbeda,
lelaki paruh baya itu tidak sendiri, dia membawa serta lelaki-lelaki berbadan
kekar di kedua sisinya.
Hening. Lelaki paruh baya itu tidak
memulai pembicaraan sama sekali, dia hanya menatap sekeliling, lalu menatap
asmi, ayu dan aliya secara bergantian, berselang detik kemudian ia terkekeh
sendiri, membusungkan dada.
Asmi mencoba melawan rasa takutnya “koh, asmi akan bayar minggu depan, asmi
janji, asmi belum gajian minggu ini, tolong kasih waktu”
Lelaki paruh baya itu masih
terkekeh sombong, dengan aksen chinese
yang kental ia berujar “hayyaa, sampai
kapan kamu bawa-bawa minggu depan, kemarin-kemarin kamu juga bilang begitu,
begini saja, saya datang kemari bawa kabar gembira, tidak perlu bayar lagi,
tapi ada syaratnya, serahkan adik bungsu kamu untuk bergabung bersama
teman-teman koh ini…hahaha”
Asmi berkaca-kaca “asmi janji minggu depan, asmi tidak akan
ingkar janji, tolongg koh,, tolong”
“Bawa anak itu”
“jangan,,,
jangannn,, jangannnn” asmi berteriak kencang seraya memeluk erat kedua
adiknya
Salah satu lelaki bertubuh kekar
itu menarik paksa si bungsu “Kak asmi,, kak
ayu, aliya takut kak, kak asmiiiiiiiiiiiiiii”
Sementara lelaki yang satunya
menghampiri meja di ruang tamu lalu merobek-robek tanpa sisa kertas-kertas yang
tergeletak di sana. Skripsi Asmi.
Asmi dan ayu tersungkur, aliya yang
berhasil di rebut bergegas di bawa pergi oleh mereka. Namun, sepersekian detik kemudian
asmi berlari menyusul, ia kembali memohon namun belum menyelesaikan kalimatnya,
ia lebih dulu di hentakkan ke belakang oleh lelaki bertubuh kekar itu. Asmi pun
hanya mampu menangis dan berteriak “koh
aling, tolongg, tolongg kembalikan adik saya koh,, tolongggg” dan tangisan asmi
kian buncah setelah melihat lembaran-lembaran skripsi yang tergeletak di meja
telah menjadi serpihan-serpihan utuh.
Langit menangis dan bergemuruh
tiada henti, persis sama seperti setahun yang lalu, namun kali ini lebih perih.
Sangat perih.
***
25
Juni 2011
Pukul
03:00
Seusai shalatul lail, asmi menjangkau
bingkai merah muda di sisian tempat tidurnya, dan selang beberapa detik, jemari
lentik itu terlihat menyentuh wajah paruh baya yang berkerudung jingga “Ibu, apa kabar ? beberapa jam lagi asmi akan
wisuda, asmi bahagiaaaa banget, owya bu, jangan lupa sampaikan rasa terima
kasih asmi pada-Nya, bilang juga kalau asmi akan selalu percaya bahwa semua yang
diberikan-Nya bukanlah suatu cobaan melainkan sebuah hadiah untuk kesabaran,,,
asmi sayang ibu” Suara lirih yang tercekat terdengar samar-samar.
Jari lentik itu pun bergeser
sedikit ke kanan “Ayah, yang semangat
yah, kebenaran pasti menang, jangan pernah menyerah. Ayah percayalah, asmi, ayu, dan aliya Insya Allah akan
baik-baik saja. Meski ibu sudah tidak di tengah-tengah kita lagi, Asmi yakin
beliau pasti sangat bahagia melihat kita berempat berkumpul lagi, ayah mau kan bertahan dan bersemangat demi
kami semua ?”Air mata asmi kian menderas.
Pukul
10:00
Paduan suara membahana di gedung
perhelatan 3 bulan sekali, dan suasana haru kian terasa ketika asmi berbalik
melihat mamak dan bapak juga sebagai pendampingnya, meski bukan orang tua
kandung asmi merasa bahagia, kelulusannya yang hampir saja gagal di tengah jalan
di saksikan oleh orang-orang yang mencintainya.
Siluet kenangan pun seketika
terlintas, bak film yang terputar dari dvd-player,
lelaki paruh baya yang tengah menikmati waktu libur bersama keluarganya, di
kunjungi oleh beberapa polisi. Dan tanpa merasa bersalah, para pemilik seragam
coklat itu membopong serta lelaki paruh baya tersebut ke dalam mobil sirine
yang dikendarainya, meninggalkan sosok wanita paruh baya yang tengah menangis
juga memeluk anak-anaknya. Waktu itu, tidak ada sepatah kata-pun keluar dari
bibir lelaki paruh baya tersebut, yang ada hanya permohonan percaya dari balik mata
sendu yang berkaca-kaca. Di surat yang tertinggal itu tertulis “tersangka pembunuhan direktur utama PT. X”.
Salah, harusnya di sana tercantum “di
fitnah membunuh direktur utama PT. X” Lirih asmi dalam tangisnya.
Hari berganti, seluruh kerabat dan
handai taulan saat itu mulai menghindar, disertai dengan kejadian demi kejadian
yang bertubi-tubi menimpa—ibu meninggal, rumah terbakar. Dalam sekejap, masa
depan suram menghiasi wajah berparas sunda tersebut, dan sangat mutlak file
skripsi yang belum sampai tingkat proposal pun terhenti utuh pergerakannya,
seperti mobil mogok yang tengah mencari jalan keluar di jalan buntu. Bukan
hanya itu, setelah kejadian kebakaran tersebut, asmi mencoba untuk mendatangi
satu persatu teman-temannya, namun tak ada satupun yang membuka pintu rumahnya
lebar-lebar, mereka hanya membuka pintu sedikit saja lalu menutupnya dengan
sigap. Termasuk pintu rumah Rianty Prasetya. Sahabat sedari kecil-nya.
Guratan takdir berjalan sempurna, Allah
yang maha besar dan maha adil mengirimkan oase di tengah padang kehidupan
keluarga Anggara, di saat semua orang menghindari anak-anaknya, sosok ini
justru malah menginginkan kehadiran anak-anak tersebut dalam keluarganya--mamak
dan bapak.
Takdir memang berjalan sempurna (25
Desember 2009) -- Sepersekian detik, asmi dan adik-adiknya berhamburan
seketika, meski wajah mereka semakin lama semakin pasi, ketiga anak perempuan
itu memastikan langkah mereka benar-benar keluar dari kawasan rumah megah
tersebut. Namun tanpa tersadar, langkah-langkah gemetar yang diusahakan
tergesa-gesa tersebut di susul oleh sebuah payung berukuran agak besar, orang
itu meraih aliya lalu menggendongnya, dan tanpa banyak kata asmi dan ayu--adik
keduanya, mengikuti langkah pemilik payung tersebut.
Lelaki tinggi besar berseragam
putih hitam itu membawa asmi dan kedua adiknya ke rumahnya. Meski rumah itu
sangat sederhana namun tempat itu telah menjadi surga untuk asmi dan kedua
adiknya selama dua bulan setelahnya. Ya, Sebelum asmi di terima bekerja menjadi
salah satu kasir di toko buku ternama.
Takdir selalu berjalan sempurna –
Saat asmi mulai bekerja di toko buku tersebut, jangkauan jarak memang menjadi
kendala utama, asmi pun memutuskan pindah ke sebuah rumah kontrakan seputaran
area pusat perbelanjaan tersebut. Meski berat asmi tetap bertahan, itu semua
karena masa depan, sebuah alasan pasti untuk masa depan (skripsi-nya yang
sempat tersendat kembali berjalan berkat bantuan atasan dan rekan sekerjanya,
ia mendapat fasilitas pinjaman buku-buku yang diperlukan untuk skripsinya selain
dari perpustakaaan kampus dan informasi dari internet).
Dan takdir memang akan selalu berjalan
dengan sempurna (25 Desember 2010) -- Asmi pun hanya mampu menangis dan
berteriak “koh aling, tolongg, tolongg
kembalikan adik saya koh,, tolongggg” dan tangisan asmi kian buncah setelah
melihat lembaran-lembaran skripsi yang tergeletak di meja telah menjadi
serpihan-serpihan utuh. Dalam tangisnya, alam bawa sadar asmi berujar “Yaa Allah asmi butuh keajaiban”
Langit menangis dan bergemuruh
tiada henti, persis sama seperti setahun yang lalu, namun kali ini lebih perih.
Sangat perih.
Dan 5 menit kemudian, daun pintu
berbunyi utuh--- tokk,,tokk,,tokk.
Asmi yang bergandengan bersama ayu memberanikan
diri membuka pintu “mamakk,, bapakk,,
aliya” tangis asmi dan ayu semakin pecah.
Wanita paruh baya yang di maksud pun
dengan sigap memeluk erat “Mamak datang
karena perasaan mamak tidak enak, dan untung saja kami belum terlambat”
Takdir memang berjalan sempurna,
namun Allah selalu memperlihatkan kebesaran dan keadilan-Nya —Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya
sesudah kesulitan itu ada kemudahan’ (QS. Al-Insyirah:
5-6)
End
0 VLP'ers comment:
Post a Comment
Kesopanan berkomentar cerminan dari kepribadian kita ! Silakan berkomentar sobat ^_*05