Suster itu tergesa “Dok, ada lagi korban tabrak lari di UGD, ini yang ke tiga”
“Segera
hubungi dokter haris” Jawab dokter berusia 30 tahun tersebut
“Baik
dok”
***
14 tahun yang
lalu…
Sepulang sekolah alif membantu ibunya
merapikan barang dagangan yang biasa dijajakan dari pintu ke pintu
--panci-panci bersusun, wajan, mangkok, cangkir juga beberapa lembar sarung.
Seraya merapikan Alif menatap wajah
ibunya. Lekat. Keletian benar-benar tergurat jelas di wajah wanita yang umurnya
terbilang masih muda namun beban hidupnya tak mudah. Wanita yang sedang ia
temani merapikan barang itu harusnya sekarang berbahagia dengan lelaki yang
meminangnya 17 tahun yang lalu. Namun takdir berkata lain.
Sejak ayah alif berangkat ke negeri
seberang, menjadi TKI illegal1) ibunya mulai menghadapi masa-masa sulit
menangani hidup sendirian. Bagaimana tidak, di tengah kehidupan ibu kota yang
kejam, wanita yang baru saja menginjakkan kaki di usia 17 tahun itu harus
merawat anak lelakinya yang juga baru beberapa bulan mengenal dunia.
Masa-masa awal di negeri seberang, ayah
alif masih mengirim kabar melalui surat juga terkadang menyelipkan beberapa
lembar puluhan ribu, namun itu hanya terjadi selama 6 bulan, bulan-bulan
berikutnya, lelaki itu menghilang tanpa kabar dan jejak.
Itulah sebabnya alif bertekad untuk
merubah keadaan mereka 180º di masa depan. Mimpi, usaha, dan berdo’a.
Alif belajar dengan baik, tidak pernah
bolos dan nakal apalagi keluyuran tidak jelas seperti yang biasa dilakukan oleh
anak-anak seusianya. Dari SD hingga
duduk di bangku SMA, nilai-nilai alif jauh melenggang di atas nilai rata-rata
teman sekelasnya, itu pula-lah yang mengantarkan alif tak pernah lepas dari
peringkat tiga besar.
“Lif,
besok jangan lupa bilang sama bu Laura, Insya Allah ibu akan bayar uang
sekolahmu minggu depan, istrinya pak adrian yang punya wartel itu tadi beli
panci yang seperti ini dua set, baru ngasih panjar, minggu depan bayar lunas”
Ujar wanita berkerudung hitam itu antusias di tengah suara plastik yang gemerisik
Alif yang tengah menyusun mangkok
tersenyum “Alhamdulillaah, alif senang
sekali mendengarnya bu, mmmhh, coba ibu izinin alif bantu menjajakan, mungkin
akan lebih banyak yang laku”
Ibu alif menyeringai “Hussh,,, kita harus bersyukur atas pemberian
Allah, sedikit atau banyak tidak masalah, yang penting berkah dan halal”
sejenak wanita itu mengambil nafas “lagian
membantu ibu bukan berarti alif harus ikut menjajakan, belajar yang baik dan
jadi anak sholeh, itu sudah lebih dari cukup, janji ya nak?” tukasnya
tuntas penuh harap
Alif bangkit memeluk “Iya bu, alif janji
akan jadi anak yang baik dan sholeh, alif sayang ibu”
Ibu alif balas memeluk, gurat letihnya
perlahan pudar dengan kasih dari talian darahnya.
***
“Alif,
batas waktu kamu seminggu lagi” ujar wanita berperawakan indo tersebut
Alif memperbaiki posisi duduknya “Alif tahu bu, tapiii…”
“Tapi
apa lif ? ingat, ibu tidak bisa membantu banyak, apapun keputusan kepala
yayasan ibu akan menaati” kali ini wanita itu menatap iba
“Iya
bu, alif akan usahakan dalam seminggu terakhir” Alif menunduk pelan lalu
melangkah penuh kecemasan “mungkin ini terakhir kalinya saya menginjak
ruang guru ini” batinnya lirih.
Dua minggu terakhir Khaifah, ibu alif,
terbaring sakit. Alhasil, uang SPP alif yang terkumpul, digunakan dan habis
seketika. Awalnya ibu alif tak mau ke dokter, namun alif bersikukuh membujuk “kesehatan ibu jauh lebih penting”,
walaupun konsekuensinya sangat berat, jika tak membayar uang sekolah dalam
bulan ini, ia akan dikeluarkan.
Malam yang sedari tadi beranjak tak
menghentikan Alif memegang dan menatap secarik kertas yang di sodorkan pak
bakri sebelum pulang sekolah tadi, ia hanya mondar-mandir, gelisah.
Lelaki paruh baya yang tak lain adalah
satpam sekolahnya itu bercerita tentang sosok yang ia temui saat menghadiri
acara hajatan di rumah saudaranya, seminggu yang lalu. “Lif, ayahmu sendiri yang memberikan nomor itu, katanya kalau kamu ada
keperluan telpon saja dia”
Kini, dua kubu hati bertentangan, di
satu sisi ingin menelpon untuk memberitahukan keadaannya sekarang, sementara di
sisi lain tak mau menyakiti hati ibunya. Setelah lama berperang dengan batinnya
sendiri, Alif bergegas. Wartel di ujung jalan menjadi tujuan.
“Assalaamu’alaikum,,
bisa bicara dengan ayah ?”
“Ini
siapa?”
“A….a…lif,,”
“Mau
ngapain kamu nelpon kemari, mau minta uang ? tidak ada”
Klik, telpon terputus
Alif menelan ludah, ia memutuskan untuk
menunggu. Berharap bukan wanita itu lagi yang mengangkat telponnya “ternyata ibu tiri itu memang kejam”
lirih batinnya. Selang belasan menit kemudian, alif kembali menekan nomor yang
tertera di secarik kertas tersebut.
“Assalaamu’alaikum,
a…a..yah”
“Wa’alaikumussalam,,
alif kamu nak ?”
“Iya
yah, ini alif”
“Alhamdulillaah,
akhirnya kamu menelpon ayah juga, kamu baik-baik saja kan nak ?”
Alif tercekat, ingin menjawab lugas
namun dihadapannya kini muncul bayang-bayang wajah pejuang hidupnya yang penuh
air mata. Pejuang yang benar-benar memperjuangkannya hingga berumur belasan
tahun seperti sekarang, pejuang yang menjadi sosok pertama yang selalu ada
buat-nya. Sedang di seberang sana adalah sosok seseorang yang telah tega
meninggalkan pejuang hidupnya sendirian, dan harusnya sosok itu berada di
urutan terakhir dalam hidupnya. Kegelisahan pun kembali menyelimuti remaja 16
tahun tersebut.
Di tengah keadaan yang dilematis, Alif
bertindak cepat, menutup telpon dengan sigap. Meski dari seberang sana masih
sibuk bertanya “Lif,, alif ? kamu masih
di sana kan nak ? Alif? Alif??”
Dengan mata berkaca-kaca Alif menatap
kaca wartel “Perasaan ibu jauh lebih
penting dan mungkin memang takdir mengharuskanku berhenti bermimpi”
Lirihnya pedih.
***
Suster itu tergesa “Dok, ada lagi korban tabrak lari di UGD, ini yang ke tiga”
“Segera
hubungi dokter haris” Jawab dokter berusia 30 tahun tersebut
“Baik
dok” dengan lincah suster itu berlari ke ruang administrasi dan berselang
menit kemudian suster itu kembali tergesa “Dok,
ponsel dokter haris tidak aktif”
“Ya
sudah, tidak apa-apa, biar saya saja yang menangani semuanya” dokter berusia
30 tahun itu berjalan cepat menuju ruang yang di maksudkan, namun masih
beberapa meter jarak ke ruang yang di tuju ponselnya bergetar,
Dari
ibuku tersayang
Nak,,
Pak Adrian dan istrinya datang, sempatkan makan siang di rumah.
Usai membaca pesan, Alif hanya
melayangkan anggukan depan layar kecil tersebut, Ia kembali melanjutkan
langkahnya.
Pak Adrian merupakan pahlawan yang
dikirimkan Allah dalam hidup alif, sejak alif terlihat berkaca-kaca di bilik
wartelnya, ia tahu bahwa anak ini tengah penuh duka. Ia pun menawarkan alif
untuk menjaga wartel setiap pulang sekolah dengan gaji yang lebih dari cukup.
Sebenarnya bukan hanya gaji, ditambah dengan sedekah. Uang sekolah-pun
terbayar. Dan tak lama berselang sejak kejadian itu, tepatnya dua bulan kemudian,
pak Adrian naik pangkat, ia dipindah tugaskan ke luar negeri, dan sebelum
beliau berangkat, tanah, wartel juga seisinya ia hibah2)-kan ke alif.
Sesaat setelah sampai di UGD. Alif
terperanjat, ia seperti mengenal dekat sosok yang terbaring di sana. Ya, wajah
sosok itu persis sama dengan wajah pada foto yang kini berada di balik lipatan
pakaiannya —foto yang alif temukan di balik bantal ibunya sewaktu ibunya sakit berminggu-minggu. Bedanya saat
itu wajah lelaki tersebut tersenyum di samping ibunya yang memakai kebaya, dan
saat ini wajah lelaki itu telah bersimbah darah. Alif bergegas mengelap darah
yang ada. Dalam guratan wajah yang tampak jelas dihadapannya, bayang-bayang
ibunya membuncah, alif memeluk erat seraya lirih berucap “bu, maafkan alif, kali ini alif memeluk seseorang yang telah menyakitimu,
meskipun dia bukan yang pertama di hati alif, namun alif berharap pertemuan ini
tak menjadi yang terakhir”.
Keterangan :
1)
Illegal :
Tidak resmi.
2)
Hibah :
Pemberian secara sukarela dari pemberi kepada penerimaan yang
dibuat atas dasar kasih sayang tanpa menerima
balasan apa-pun.
Makassar, Juli
2012
0 VLP'ers comment:
Post a Comment
Kesopanan berkomentar cerminan dari kepribadian kita ! Silakan berkomentar sobat ^_*05