Mendung menggelayut, membuat senja
tak nampak di pesona-nya. Aminah berjalan menyusuri lorong-lorong kecil hingga
akhirnya terhenti di sebuah rumah kecil di sudut jalan. Ia tergopoh memutar
kunci pintu, yang terkadang terbuka sendiri meski tak memasukkan mata kuncinya.
Rumah yang biasa di sebut gubuk oleh kalangan menengah ke atas itu merupakan satu-satunya
peninggalan bapak-nya, dan menjadi hal yang paling berharga dalam hidup aminah,
selain mamak yang kian lama kian membungkuk.
***
“Mak, biar minah yang membereskan, mamak istirahat saja” Minah
memunguti potongan-potongan kayu tersisa, yang telah dipakai memasak oleh mamaknya
“Kamu saja yang istirahat nak, baru pulang masa’ iya
membereskan lagi” Sambil tertatih mamak narsih
menyimpan termos
“Ndak apa-lah mak, ini sudah kewajiban minah, mak harus banyak
istirahat, apalagi mamak belum sembuh betul” Minah berujar seraya memapah mamaknya
ke dipan
Dengan cekatan minah membereskan,
menyapu abu sisa pembakaran di tungku juga mencuci perabotan yang terpakai.
Tidak lama minah membereskan, karena memang perabotan kotor cuma wajan dan
beberapa piring saja. Usai membereskan, minah beranjak ke sumur di belakang
rumah, mengangkut air lalu mengisi gumbang1), setelah gumbang penuh barulah ia
mengambil sarung dan mandi di sana.
Sekilas tak ada yang terlihat
istimewa dari wanita berusia 38 tahun tersebut. Tubuh kurus dan kulit hitam-nya
lah yang menonjol, membuat ia terlihat lebih tua dari umurnya. Meski baju dan
rok yang ia kenakan selalu bersih, namun tetap saja terlihat kalau baju itu seharusnya
tak layak digunakan lagi –baju yang warna-nya sudah sangat pudar di tambah lagi beberapa tambalan di sana sini.
Meski seperti itu aminah tak pernah malu dengan tampilan-nya.
***
Usai sholat subuh, aminah keluar
rumah dengan penampilan seperti biasa, dengan baju lengan panjang dan rok
panjang lusuh, ia berjalan menuju Yayasan Aisyah --sekolah dasar milik swasta
yang didirikan di depan kompleks perumahan elite.
Menjadi bagian dari petugas
kebersihan di yayasan tersebut merupakan pekerjaan tambahan yang sudah ia
tekuni dalam setahun terakhir. Biasanya usai bekerja di sana barulah ia
bergegas ke rumah majikannya, salah satu warga di kawasan elite.
Di sepanjang jalan, suara-suara bisik
tetangga yang juga mulai bergegas ke pasar terdengar.
“ Ehh, tukang sapu SD kaya lewat tuh”
“ Mana, mana ? ohh, si minah, bukan cuma tukang sapu tapi dia juga
pembantu di rumah orang kaya”
“ Ahh,
kalian semua ketinggalan, yang sekarang tuh ini –minah si perawan yang belum
menikah-menikah juga, kasihan… hahaha”
Ketiga ibu-ibu itu tergelak usai
memberikan komentar-komentar versi mereka masing-masing. Aminah yang terus
melangkah hanya mampu menelan ludah, mendengar seringai mereka. Entah apa yang
membuat mereka begitu hobi menjadikan minah sebagai bahan olokan, padahal
setiap berpapasan, aminah tak pernah tak menyemburatkan senyum dan memberi
salam, belum lagi selama hidup bertetangga aminah juga keluarganya tak pernah
sedikitpun mengganggu kehidupan mereka. Mereka hanya sopan bila izin mengambil
air di sumur.
Berselang menit kemudian, langkah
minah mulai membelok memasuki kawasan kompleks yang biasa ia lalui sebagai
jalan pintas menuju Yayasan Aisyah, namun belum jauh dari tikungan, terdengar
sapaan dari ibu-ibu lain
“Pagi minah, mau berangkat ke kantor yah ? coba punya suami, pasti ada
yang antar” ujar bu cahya seraya tersenyum sinis
Minah membalas dengan senyum getir.
Ekspresi yang sama setiap harinya ketika melewati rumah bernuansa hijau
tersebut, dari sekian ibu-ibu yang lain ibu cahya termasuk salah satu ibu-ibu
yang paling senang menungguinya lewat lalu menyapanya dengan sapaan yang sama.
Bukan senang, sengaja lebih tepatnya.
***
Senja kembali menapak kaki langit,
langkah-langkah minah pun mulai menjejak menyusuri jalan yang sama. Tikungan
kompleks, juga lorong-lorong kecil sepertinya telah betul-betul mengenali
langkah wanita berperawakan tinggi kurus tersebut. Ya, hanya bagian-bagian tak
bernyawa itu-lah yang selalu berdamai dengan kehidupan minah, memberikan utas
harapan untuk mencari rezeki-Nya lalu kembali pulang.
“Nak, bu titin tadi datang kemari katanya malam nanti ada acara mappenre’
balanca2) di rumahnya, kamu kesana ya bantu-bantu” ujar mamak narsih di
sela batuknya
“Iya mak, habis isya baru minah kesana” Minah menjawab seraya merebahkan
tubuhnya di dipan
Batuk mak narsih kian gelegak “ Coba mamak tidak sakit, mamak yang akan ke
sana”
“Ndak usah mak, biar minah yang ke sana, mamak banyak-banyak istirahat
saja biar cepat sembuh” Tukas minah seraya memijit tengkuk mamaknya
***
Dari jauh, sayup-sayup terdengar tawa
renyah dan obrolan orang-orang yang ada di sana. Aminah pun mempercepat langkahnya
menuju rumah panggung di jalan seberang.
Sesampainya di sana, aminah
membantu mengelap piring lalu kemudian mengisinya dengan penganan atau kue-kue.
Dengan cermat aminah memperbaiki tatanan kue bolu kukus di atas piring, namun
dalam asyik tiba-tiba saja ada yang mengambil piring tersebut disertai dengan teriakan
dan hentak-kan
“Kamu ndak usah di sini, nanti acara-nya batal lagi gara-gara perawan
tua yang menata, mending cuci piring saja sana, kamu kan memang pembantu”
Bu titin yang
melihat anak-nya membentak seketika menegur “Arfah, kamu ini apa-apaan sih, minah datang membantu kita, jangan kasar
seperti itu” bu titin lalu mendekati minah “minah maafkan arfah ya nak, jangan dimasukkan di hati”
Minah hanya
mengangguk, dengan mata berkaca-kaca, ia beranjak bergegas ke sumur
tempat orang-orang mencuci piring. Tiba di sumur, ia sedikit lega melihat yang
ada di sana hanya bu rahmah dan bu aida, setidaknya kedua ibu itu tidak terlalu
sering mengatainya
“Eh minah, kenapa baru muncul, baru pulang kerja ?” Tanya bu rahmah
seketika
Minah tersenyum lalu berujar “Bukan bu, tadi masakin mamak dulu baru ke
sini”
Bu Rahmah menganggukkan kepala “Ohh…”
“ Eh, nah, apa kamu ndak capek jadi pembantu?” Seringai bu Aida
Minah kembali tersenyum “Ndak bu, minah malah sangat senang, majikan
minah sangat baik”
Bu Aida lagi-lagi bertanya “ eh,kenapa kamu ndak minta tolong majikanmu
cariin kamu jodoh?”
“Jodoh
di tangan Allah bu,
kalau sudah waktunya pasti di pertemukan juga”
Minah berujar seraya menarik tali dari dalam sumur
“Minah, minah, kapan waktunya ? kamu itu sudah kepala 3 hampir 4 malah,
jadi bukan nunggu lagi, harusnya kamu bergerak cepat mencari” Tukas bu Aida lengkap
Minah mengangkat wajahnya “ Minah, percaya sama Allah bu, Allah sudah mengatur semuanya”
Bu Aida lagi-lagi mencecar “Ahh, itu semua gara-gara mamak bapak kamu
yang menolak lamaran Nasir waktu itu, pake alasan kamu mau lanjut SMA, eh
ujung-ujungnya kamu berhenti di tengah jalan gara-gara ndak ada biaya pas
bapakmu mati, sekolah ndak selesai, jodoh juga ndak dapat”
“Iya min, itu bahaya lho, apalagi orang jaman dulu tuh bilang ‘kalau
sudah ada yang melamar terus di tolak, ndak akan ada lagi yang datang melamar ”
Bu Rahmah menggidik
Aminah kembali berkaca-kaca, ia
menuangkan air di ember lalu berlari. Pulang. Namun belum sempat menyeberang, masih depan pagar bu titin,
aminah hampir saja di tabrak oleh pengendara yang baru membelokkan kendaraan
roda duanya, ia-pun berteriak histeris.
Dan tidak lama setelah histeria
minah membahana, Arfah berlari
mendekat
“Maaf puang3), puang ndak apa-apa ?” Arfah menatap cemas pada pengendara motor
“Alhamdulillaah tidak apa-apa” Jawab lelaki berjaket hitam perawakan
tinggi tersebut
Setelah memastikan keadaan
pengendara baik-baik saja barulah
Arfah menatap minah,
alih-alih bertanya yang sama, ia malah membentak “hee, dasar perawan tua, cepat pergi dari sini, kamu benar-benar bawa
sial”
***
“Saya terima nikahnya Aminah binti Arif dengan…..”
“Bagaimana saksi ? Sah ?”
Suara-suara lain berebut menjawab “Sahhhh”
Bulir-bulir bening pun tak
tertahankan lagi, aminah tak henti menyeka sudut matanya, ia masih tak percaya,
yang terjadi hari ini seolah mimpi. Insiden nyaris ditabrak sebulan yang lalu,
tak pernah disangka-nya menjadi jalan pertemuan dengan jodoh-nya. Lelaki
berbalut jaket hitam saat itu, merupakan paman dari calon suami Arfah-anak bu
titin, dia adalah duda yang ditinggal mati istrinya 2 tahun yang lalu, juga
guru di salah satu Madrasah Tsanawiyah,
serta seorang pengelola sekaligus pemilik panti asuhan di ibu kota kabupaten.
Kini, dalam balutan pakaian adat
bugis, Aminah tersenyum bahagia
dalam isak-nya.
End
Makassar,
Agustus 2012
Ket :
1)
Gumbang : Tempat penyimpanan air.
2)
Mappenre’ balanca : Penyerahan uang belanja pernikahan (penyerahan berupa
uang
berdasarkan nominal
yang telah disepakati oleh kedua belah pihak).
3)
Puang : Panggilan hormat
orang bugis.
0 VLP'ers comment:
Post a Comment
Kesopanan berkomentar cerminan dari kepribadian kita ! Silakan berkomentar sobat ^_*05