Friday, September 28, 2012

Pengantin Kini







Mendung menggelayut, membuat senja tak nampak di pesona-nya. Aminah berjalan menyusuri lorong-lorong kecil hingga akhirnya terhenti di sebuah rumah kecil di sudut jalan. Ia tergopoh memutar kunci pintu, yang terkadang terbuka sendiri meski tak memasukkan mata kuncinya. Rumah yang biasa di sebut gubuk oleh kalangan menengah ke atas itu merupakan satu-satunya peninggalan bapak-nya, dan menjadi hal yang paling berharga dalam hidup aminah, selain mamak yang kian lama kian membungkuk.

***
Mak, biar minah yang membereskan, mamak istirahat saja” Minah memunguti potongan-potongan kayu tersisa, yang telah dipakai memasak oleh mamaknya

Kamu saja yang istirahat nak, baru pulang masa’ iya membereskan lagi” Sambil tertatih mamak narsih menyimpan termos

Ndak apa-lah mak, ini sudah kewajiban minah, mak harus banyak istirahat, apalagi mamak belum sembuh betul” Minah berujar seraya memapah mamaknya ke dipan

Dengan cekatan minah membereskan, menyapu abu sisa pembakaran di tungku juga mencuci perabotan yang terpakai. Tidak lama minah membereskan, karena memang perabotan kotor cuma wajan dan beberapa piring saja. Usai membereskan, minah beranjak ke sumur di belakang rumah, mengangkut air lalu mengisi gumbang1), setelah gumbang penuh barulah ia mengambil sarung dan mandi di sana.

Sekilas tak ada yang terlihat istimewa dari wanita berusia 38 tahun tersebut. Tubuh kurus dan kulit hitam-nya lah yang menonjol, membuat ia terlihat lebih tua dari umurnya. Meski baju dan rok yang ia kenakan selalu bersih, namun tetap saja terlihat kalau baju itu seharusnya tak layak digunakan lagi –baju yang warna-nya sudah sangat pudar  di tambah lagi beberapa tambalan di sana sini. Meski seperti itu aminah tak pernah malu dengan tampilan-nya.



***
Usai sholat subuh, aminah keluar rumah dengan penampilan seperti biasa, dengan baju lengan panjang dan rok panjang lusuh, ia berjalan menuju Yayasan Aisyah --sekolah dasar milik swasta yang didirikan di depan kompleks perumahan elite.

Menjadi bagian dari petugas kebersihan di yayasan tersebut merupakan pekerjaan tambahan yang sudah ia tekuni dalam setahun terakhir. Biasanya usai bekerja di sana barulah ia bergegas ke rumah majikannya, salah satu warga di kawasan elite.

Di sepanjang jalan, suara-suara bisik tetangga yang juga mulai bergegas ke pasar terdengar.

Ehh, tukang sapu SD kaya lewat tuh

Mana, mana ? ohh, si minah, bukan cuma tukang sapu tapi dia juga pembantu di rumah orang kaya

 Ahh, kalian semua ketinggalan, yang sekarang tuh ini –minah si perawan yang belum menikah-menikah juga, kasihan… hahaha

Ketiga ibu-ibu itu tergelak usai memberikan komentar-komentar versi mereka masing-masing. Aminah yang terus melangkah hanya mampu menelan ludah, mendengar seringai mereka. Entah apa yang membuat mereka begitu hobi menjadikan minah sebagai bahan olokan, padahal setiap berpapasan, aminah tak pernah tak menyemburatkan senyum dan memberi salam, belum lagi selama hidup bertetangga aminah juga keluarganya tak pernah sedikitpun mengganggu kehidupan mereka. Mereka hanya sopan bila izin mengambil air di sumur.

Berselang menit kemudian, langkah minah mulai membelok memasuki kawasan kompleks yang biasa ia lalui sebagai jalan pintas menuju Yayasan Aisyah, namun belum jauh dari tikungan, terdengar sapaan dari ibu-ibu lain

Pagi minah, mau berangkat ke kantor yah ? coba punya suami, pasti ada yang antar” ujar bu cahya seraya tersenyum sinis

Minah membalas dengan senyum getir. Ekspresi yang sama setiap harinya ketika melewati rumah bernuansa hijau tersebut, dari sekian ibu-ibu yang lain ibu cahya termasuk salah satu ibu-ibu yang paling senang menungguinya lewat lalu menyapanya dengan sapaan yang sama. Bukan senang, sengaja lebih tepatnya.

***
Senja kembali menapak kaki langit, langkah-langkah minah pun mulai menjejak menyusuri jalan yang sama. Tikungan kompleks, juga lorong-lorong kecil sepertinya telah betul-betul mengenali langkah wanita berperawakan tinggi kurus tersebut. Ya, hanya bagian-bagian tak bernyawa itu-lah yang selalu berdamai dengan kehidupan minah, memberikan utas harapan untuk mencari rezeki-Nya lalu kembali pulang.

Nak, bu titin tadi datang kemari katanya malam nanti ada acara mappenre’ balanca2) di rumahnya, kamu kesana ya bantu-bantu” ujar mamak narsih di sela batuknya

Iya mak, habis isya baru minah kesana” Minah menjawab seraya merebahkan tubuhnya di dipan

Batuk mak narsih kian gelegak “ Coba mamak tidak sakit, mamak yang akan ke sana

Ndak usah mak, biar minah yang ke sana, mamak banyak-banyak istirahat saja biar cepat sembuh” Tukas minah seraya memijit tengkuk mamaknya

***
Dari jauh, sayup-sayup terdengar tawa renyah dan obrolan orang-orang yang ada di sana. Aminah pun mempercepat langkahnya menuju rumah panggung di jalan seberang.

Sesampainya di sana, aminah membantu mengelap piring lalu kemudian mengisinya dengan penganan atau kue-kue. Dengan cermat aminah memperbaiki tatanan kue bolu kukus di atas piring, namun dalam asyik tiba-tiba saja ada yang mengambil piring tersebut disertai dengan teriakan dan hentak-kan

Kamu ndak usah di sini, nanti acara-nya batal lagi gara-gara perawan tua yang menata, mending cuci piring saja sana, kamu kan memang pembantu

Bu titin yang melihat anak-nya membentak seketika menegur “Arfah, kamu ini apa-apaan sih, minah datang membantu kita, jangan kasar seperti itu” bu titin lalu mendekati minah “minah maafkan arfah ya nak, jangan dimasukkan di hati

Minah hanya mengangguk, dengan mata berkaca-kaca, ia beranjak bergegas ke sumur tempat orang-orang mencuci piring. Tiba di sumur, ia sedikit lega melihat yang ada di sana hanya bu rahmah dan bu aida, setidaknya kedua ibu itu tidak terlalu sering mengatainya

Eh minah, kenapa baru muncul, baru pulang kerja ?” Tanya bu rahmah seketika

Minah tersenyum lalu berujar “Bukan bu, tadi masakin mamak dulu baru ke sini

Bu Rahmah menganggukkan kepala “Ohh…

Eh, nah, apa kamu ndak capek jadi pembantu?” Seringai bu Aida

Minah kembali tersenyum “Ndak bu, minah malah sangat senang, majikan minah sangat baik

Bu Aida lagi-lagi bertanya “ eh,kenapa kamu ndak minta tolong majikanmu cariin kamu jodoh?

Jodoh di tangan Allah bu, kalau sudah waktunya pasti di pertemukan juga” Minah berujar seraya menarik tali dari dalam sumur
Minah, minah, kapan waktunya ? kamu itu sudah kepala 3 hampir 4 malah, jadi bukan nunggu lagi, harusnya kamu bergerak cepat mencari” Tukas bu Aida lengkap

Minah mengangkat wajahnya “ Minah, percaya sama Allah bu,  Allah sudah mengatur semuanya

Bu Aida lagi-lagi mencecar “Ahh, itu semua gara-gara mamak bapak kamu yang menolak lamaran Nasir waktu itu, pake alasan kamu mau lanjut SMA, eh ujung-ujungnya kamu berhenti di tengah jalan gara-gara ndak ada biaya pas bapakmu mati, sekolah ndak selesai, jodoh juga ndak dapat

Iya min, itu bahaya lho, apalagi orang jaman dulu tuh bilang ‘kalau sudah ada yang melamar terus di tolak, ndak akan ada lagi yang datang melamar ” Bu Rahmah menggidik

Aminah kembali berkaca-kaca, ia menuangkan air di ember lalu berlari. Pulang. Namun belum sempat  menyeberang, masih depan pagar bu titin, aminah hampir saja di tabrak oleh pengendara yang baru membelokkan kendaraan roda duanya, ia-pun berteriak histeris.

Dan tidak lama setelah histeria minah membahana, Arfah berlari mendekat

Maaf puang3), puang ndak apa-apa ?Arfah menatap cemas pada pengendara motor

Alhamdulillaah tidak apa-apa” Jawab lelaki berjaket hitam perawakan tinggi tersebut

Setelah memastikan keadaan pengendara baik-baik saja barulah Arfah menatap minah, alih-alih bertanya yang sama, ia malah membentak “hee, dasar perawan tua, cepat pergi dari sini, kamu benar-benar bawa sial

***
Saya terima nikahnya Aminah binti Arif dengan…..

Bagaimana saksi ? Sah ?

Suara-suara lain berebut menjawab “Sahhhh

Bulir-bulir bening pun tak tertahankan lagi, aminah tak henti menyeka sudut matanya, ia masih tak percaya, yang terjadi hari ini seolah mimpi. Insiden nyaris ditabrak sebulan yang lalu, tak pernah disangka-nya menjadi jalan pertemuan dengan jodoh-nya. Lelaki berbalut jaket hitam saat itu, merupakan paman dari calon suami Arfah-anak bu titin, dia adalah duda yang ditinggal mati istrinya 2 tahun yang lalu, juga guru di salah satu Madrasah Tsanawiyah, serta seorang pengelola sekaligus pemilik panti asuhan di ibu kota kabupaten.

Kini, dalam balutan pakaian adat bugis, Aminah tersenyum bahagia dalam isak-nya.


End

Makassar, Agustus 2012



Ket :
1)      Gumbang                    : Tempat penyimpanan air.
2)      Mappenre’ balanca      : Penyerahan  uang belanja pernikahan (penyerahan berupa uang
berdasarkan nominal yang telah disepakati oleh kedua belah pihak).
3)      Puang                          : Panggilan hormat orang bugis.





0 VLP'ers comment:

Post a Comment

Kesopanan berkomentar cerminan dari kepribadian kita ! Silakan berkomentar sobat ^_*05

From VLP To Friends

Blog Indonesia

blog-indonesia.com

VLP Chats

Hitstats

Indonesia Blogger

Blogger Indo