
Sang Guru mendengarkannya dengan teliti dan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Dia taburkan garam itu ke dalam gelas, lalu dia aduk dengan sendok.
“Coba minum ini, dan katakan bagaimana rasanya?” pinta Sang Guru.
“Asin dan pahit, pahit sekali,” jawab pemuda itu, sembari meludah ke tanah.
Sang Guru hanya tersenyum. Ia lalu mengajak tamunya berjalan ke tepi telaga di hutan dekat kediamannya. Kedua orang itu berjalan beriringan dalam kediaman. Sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu. Sang Guru lalu menaburkan segenggam garam tadi ke dalam telaga. Dengan sebilah kayu, diaduknya air telaga, membuat gelombang dan riak kecil.
Setelah air telaga tenang, ia pun berkata, “Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah.”
Saat tamu itu selesai meneguk air telaga, Sang Guru bertanya, “Bagaimana rasanya?”
“Segar,” sahut pemuda itu.
“Apakah kamu masih merasakan garam di dalam air itu?” tanya Sang Guru.
“Tidak,” jawab si anak muda.
Sang Guru menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk bersimpuh di tepi telaga.

“Hatimu anakku, adalah wadah itu. Batinmu adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah hatimu seluas telaga yang mampu meredam setiap kepahitan. Hati yang seluas dunia!”
Keduanya beranjak pulang. Sang Guru masih menyimpan “segenggam garam”
untuk orang-orang lain, yang sering datang padanya membawa keresahan hati.
untuk orang-orang lain, yang sering datang padanya membawa keresahan hati.
*** Sumber : (Jimmisies.wordpress.com,, googlepict)
0 VLP'ers comment:
Post a Comment
Kesopanan berkomentar cerminan dari kepribadian kita ! Silakan berkomentar sobat ^_*05